Citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kian terpuruk. Survei terbaru Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menyebut lembaga wakil rakyat ini menjadi lembaga terkorup di Indonesia.
Peneliti SSS, Ari Nurcahyo menyatakan, survei yang dilakukan terhadap 2.192 responden dari berbagai daerah baru-baru ini menempatkan DPR RI sebagai lembaga terkorup di Indonesia dengan persentase 47 persen responden. Menurut Ari, budaya korupsi di DPR telah berlangsung sejak lama.
"Korupsi itu budaya dari zaman dulu. Ketika kekuasaan yang besar pindah di DPR, pada balas dendam," kata Ari dalam diskusi bertema "Kata Survei DPR Paling Korup", di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu kemarin.
Hasil survei ini juga diamini oleh Anggota DPR Komisi VII, Dewi Aryani. Politisi PDI Perjuangan ini mengakui bahwa sebagian anggota DPR memang berperilaku korup.
"Anggota DPR korup? Iya memang korup, tapi tidak semua. Makanya harus muncul sosok wakil rakyat yang berani memangkas rantai-rantai budaya korup tersebut. Sebab jika hal tersebut tak dilakukan, budaya korup tersebut akan semakin menjadi-jadi," ujar Dewi.
Sementara itu anggota Fraksi PAN DPR, Taslim Chaniagio, menganggap budaya korup tidak terlepas dari sebuah kebutuhan yang mendesak. "Korupsi by need karena kebutuhan yang mendesak dan dirasa aman, yah makanya dilakukan korupsi," jelas Taslim yang juga anggota Komisi III DPR.
Sedangkan mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Taslim Chaniago mengakui bahwa kejanggalan dan keanehan sering muncul dalam pembahasan anggaran di Banggar DPR. Bahkan keanehan itu pula yang membuat dirinya memutuskan keluar dari Banggar beberapa waktu lalu.
"Saya tidak nyaman ruangan yang anggarannya menurut pendapat dan hitungan saya tidak masuk akal, banyak yang dikorup. Maka saya pilih tidak berada di sana. Saya lihat ada yang aneh-aneh di Banggar, merubah dari dalam terlalu sulit, makanya saya pilih berusaha mengubah dari luar," tutur Taslim.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN)yang kini duduk di Komisi III DPR itu menambahkan, keanehan tentang kinerja Banggar semakin mencuat menyusul dugaan korupsi yang membetit Wa Ode Nurhayati terkait pembahasan Dana Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPID) maupun Hambalang. Taslim menyebut Nurhayati yang dijerat KPK justru menjadi pihak pertama yang mengungkap dugaan korupsi di Banggar.
"DPID itu kan waktu Wa Ode ditangkap. DPID kan ada korupsinya walaupun Wa Ode mengatakan tidak melakukan, tapi mungkin yang lain melakukan. Sampai saat ini kita meyakini bahwa Wa Ode itu adalah orang yang mengungkap adanya korupsi di DPR," ujar Taslim.
Sementara Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Sebastian Salang, mengamini hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup di Indonesia. Bahkan Sebastian mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan DPR sebagai lembaga terkorup.
"Pertama, disebabkan sistem pemilu yang menelan biaya politik mahal. Karena itu politisi-politisi berlomba-lomba mencari duit untuk memenuhi kebutuhan politiknya," katanya.
Faktor kedua, lanjutnya, partai-partai politik yang ada di Indonesia cenderung mengandalkan pendanaan dari kadernya yang duduk di DPR. Yang ketiga, karena politisi DPR memang berperilaku hedonis. "Yang terakhir ya memang maruk. Banyak orang DPR yang sudah kaya di DPR, sampai DPR juga malah makin maruk" cetusnya.
Hasil survei SSS pun dipandang Sebastian gambaran masyarakat. Alasannya, DPR yang seharusnya sebagai lembaga kontrol justru menjelma menjadi koruptor sehingga masyarakat tak punya harapan lagi ke para politisi.
Cp :fajar.co.id
Peneliti SSS, Ari Nurcahyo menyatakan, survei yang dilakukan terhadap 2.192 responden dari berbagai daerah baru-baru ini menempatkan DPR RI sebagai lembaga terkorup di Indonesia dengan persentase 47 persen responden. Menurut Ari, budaya korupsi di DPR telah berlangsung sejak lama.
"Korupsi itu budaya dari zaman dulu. Ketika kekuasaan yang besar pindah di DPR, pada balas dendam," kata Ari dalam diskusi bertema "Kata Survei DPR Paling Korup", di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu kemarin.
Hasil survei ini juga diamini oleh Anggota DPR Komisi VII, Dewi Aryani. Politisi PDI Perjuangan ini mengakui bahwa sebagian anggota DPR memang berperilaku korup.
"Anggota DPR korup? Iya memang korup, tapi tidak semua. Makanya harus muncul sosok wakil rakyat yang berani memangkas rantai-rantai budaya korup tersebut. Sebab jika hal tersebut tak dilakukan, budaya korup tersebut akan semakin menjadi-jadi," ujar Dewi.
Sementara itu anggota Fraksi PAN DPR, Taslim Chaniagio, menganggap budaya korup tidak terlepas dari sebuah kebutuhan yang mendesak. "Korupsi by need karena kebutuhan yang mendesak dan dirasa aman, yah makanya dilakukan korupsi," jelas Taslim yang juga anggota Komisi III DPR.
Sedangkan mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Taslim Chaniago mengakui bahwa kejanggalan dan keanehan sering muncul dalam pembahasan anggaran di Banggar DPR. Bahkan keanehan itu pula yang membuat dirinya memutuskan keluar dari Banggar beberapa waktu lalu.
"Saya tidak nyaman ruangan yang anggarannya menurut pendapat dan hitungan saya tidak masuk akal, banyak yang dikorup. Maka saya pilih tidak berada di sana. Saya lihat ada yang aneh-aneh di Banggar, merubah dari dalam terlalu sulit, makanya saya pilih berusaha mengubah dari luar," tutur Taslim.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN)yang kini duduk di Komisi III DPR itu menambahkan, keanehan tentang kinerja Banggar semakin mencuat menyusul dugaan korupsi yang membetit Wa Ode Nurhayati terkait pembahasan Dana Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPID) maupun Hambalang. Taslim menyebut Nurhayati yang dijerat KPK justru menjadi pihak pertama yang mengungkap dugaan korupsi di Banggar.
"DPID itu kan waktu Wa Ode ditangkap. DPID kan ada korupsinya walaupun Wa Ode mengatakan tidak melakukan, tapi mungkin yang lain melakukan. Sampai saat ini kita meyakini bahwa Wa Ode itu adalah orang yang mengungkap adanya korupsi di DPR," ujar Taslim.
Sementara Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Sebastian Salang, mengamini hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup di Indonesia. Bahkan Sebastian mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan DPR sebagai lembaga terkorup.
"Pertama, disebabkan sistem pemilu yang menelan biaya politik mahal. Karena itu politisi-politisi berlomba-lomba mencari duit untuk memenuhi kebutuhan politiknya," katanya.
Faktor kedua, lanjutnya, partai-partai politik yang ada di Indonesia cenderung mengandalkan pendanaan dari kadernya yang duduk di DPR. Yang ketiga, karena politisi DPR memang berperilaku hedonis. "Yang terakhir ya memang maruk. Banyak orang DPR yang sudah kaya di DPR, sampai DPR juga malah makin maruk" cetusnya.
Hasil survei SSS pun dipandang Sebastian gambaran masyarakat. Alasannya, DPR yang seharusnya sebagai lembaga kontrol justru menjelma menjadi koruptor sehingga masyarakat tak punya harapan lagi ke para politisi.
Cp :fajar.co.id
Komentar
Posting Komentar